Mengapa kita impor bahan pangan, yang semestinya kita (sudah) produksi/tanam sendiri?
Jawaban gampangnya: karena kalau tidak impor, bahan2 pangan kita MAHAL. Bahkan MAHAL BANGET.
Mengapa bisa begitu? Karena dua perkara.
Pertama, bahan pangan yang diimpor itu JAUH LEBIH MURAH dibanding bahan pangan yang kita produksi/tanam/hasilkan sendiri.
Kedua, karena bahan pangan yang kita hasilkan sendiri itu, sudahpun "MAHAL" dibanding bahan impor, jumlahnya tidak cukup banyak dan/atau logistiknya tidak cukup canggih untuk memastikan ketersediaan bahan pangan tersebut tersebar merata di pasar seantero kota desa pulau2 Indonesia sehingga memastikan harga di pasaran adalah yang paling "efisien".
Nah, sampai di sini kita paham ya, mengapa perlu impor bahan pangan, yaitu untuk mengendalikan harga agar masyarakat siapa saja bisa mendapatkan harga murah untuk bahan pangannya. Buat itung2an makro, ini sangat penting untuk mengendalikan inflasi, nilai uang, sampai ke urusan stabilitas ipoleksosbud.
Pertanyaannya lagi: mengapa kok bahan pangan yang kita hasilkan sendiri malah "MAHAL" atau harganya tinggi (dibanding yg diimpor)? Lebih jauh lagi keheranan kita, sudah harganya tinggi, kenapa produsen2nya, petani pekebun nelayan, kok masih begitu2 aja tingkat ekonominya?
Jawaban gampangnya ada 2 juga.
Pertama, tidak ada dukungan PEMERINTAH terhadap RANTAI PASOK yang MENGINTEGRASIKAN produsen (hulu) yang mayoritas skalanya gurem dan kecil2 itu, para pengepul (tengkulak), pedagang (berlapis2 skalanya), sampai ke pembeli akhir (end-user).
Mekanisme produksi - pemasaran diserahkan sepenuh2nya ke mekanisme pasar. Produsen (kecil2) disuruh mikir sendiri usaha sendiri bagaimana bisa nanam, bisa panen, berjuang sendiri supaya bisa efisien, bisa ada hasil jual.
Pedagang (kecil2) juga gitu. Karena serba skala kecil2, kemampuannya juga sangat terbatas (nyaris tidak ada kemampuan) untuk bisa meningkatkan kapasitas kemampuan (produksi maupun pemasaran) sehingga lebih efisien.
Contoh gampangnya: pemerintah menyerahkan intervensi berbentuk dukungan modal, ke tangan bank BUMN. Lalu si Bank kalau kasih dukungan modal dikasihnya ke petani pekebunnya aja, atau ke pedagangnya aja. Padahal masing2 rantai itu secara sendiri2 risiko keuangannya tinggi. Risiko ruginya tinggi. Sehingga akhirnya si Bank punya alasan untuk tidak kasih dukungan modal. Mbulet kayak susur.
Tanpa dukungan yang tepat, hasil akhirnya ya beginilah: bahan pangan yang kita hasilkan sendiri harganya jadi tinggi, tinggi sekali.
Kedua, di negara kita yang kepulauan ini, transportasi logistik luar biasa MAHALnya. Mengirim dari satu titik produksi ke titik2 pasarnya itu sungguh membuat penderitaan tersendiri melihat bagaimana harga dasar barang bisa naik setinggi langit gara2 proses kirim. Pemerintah berusaha melakukan sesuatu untuk ini tapi ya membangun INFRASTRUKTUR kan gak bisa bagai membangun seribu candi dalam semalam.
Nah, sampai di sini kita makin paham ya, kenapa bahan pangan yang kita hasilkan sendiri itu kok jatuhnya akhirnya MIHIL BINGIT, dan mengapa impor bahan pangan itu (seakan oleh pemerintah dianggap sebagai) satu2nya jalan untuk mengendalikan harga bahan pangan di dalam negeri.
Sekarang kita nanya lagi: trus apa yg bisa dilakukan oleh kita, Indonesia, masyarakat dan pemerintahnya, agar pangan yang kita hasilkan sendiri bisa lumayan efisien harganya, jumlahnya cukup banyak, dan tersebar merata, sehingga hasil akhirnya adalah harga bahan pangan terkendali?
Jawaban gampangnya: pemerintah harus memformulasikan bentuk2 dukungan yang intinya adalah pada INTEGRASI RANTAI PASOK BAHAN PANGAN.
Intervensi pemerintah jangan nanggung di satu per satu rantai tapi memang diformulasikan untuk PENGINTEGRASIAN RANTAI PASOK, sehingga risiko usaha di tiap rantai akan "diamankan" diminimalisir oleh rantai selanjutnya. Dan risiko kekagalan intervensi pun juga jadinya minimal.
Integrasi ini juga yang memastikan perbaikan bisa dilaksanakan sejak di tingkat PRODUSEN agar produksi mereka meningkat kualitasnya, pasca panennya juga, dan EFISIEN. Distribusinya juga. Pemerataan pasarnya juga. Dengan demikian, sejak di tingkat produsen harga sudah bisa diatur agar nutup ongkos produksi, dan SUDAH PASTI TERSERAP PASAR.
Intervensi di rantai produsen bentuk2nya antara lain: pengetahuan dan teknologi utk produksi efisien, barangnya bagus. Di tingkat distribusi bentuknya antara lain subsidi khusus untuk transportasi bahan pangan tertentu. Di tingkat pemerataan pemasaran bentuknya antara lain subsidi khusus untuk sentra2 pasar.
Gitulah kira2. Mestinya para jagoan di kementrian2 itu bisalah koordinasi untuk praktik intervensi begini secara masif bagi beberapa jenis bahan pangan tertentu. Terutama untuk yang produsen2, pengepul2, pedagang2 yang adalah kaum rakyat mikro. Bukan untuk yang itu2 lagi korporasi besar.
Intervensi yang begini satu kali dayung sembilan pulau terlampaui. Termasuk: perbaikan ekonomi di seluruh rangkaian rantai pasok berbasis mikro2 itu, dan terkendalinya harga bahan pangan, setidaknya untuk bahan pangan yang dijangkau oleh intervensi.
Trus ada yang iseng nanya: kok bisa bahan2 pangan impor itu MURAH?
Jawaban gampangnya: karena pemerintah2nya melaksanakan intervensi pada pengintegrasian rantai pasok bahan2 pangan yang diproduksi rakyatnya, sudah sejak kapan tahu.
Sehingga bisa tuh, bawang putih lokal kita 40rb di pengepul (di pasar bisa 2x lipatnya), sementara bawang putih impor di pedagang ritel cuma 28ribu.
Selamat sarapan pagi, di tengah harga2 pangan melambung tinggi....
(Dewi Hutabarat KOBETA)
Ini jawaban para tengkulak dan pegawai di atas sana.
Kenapa impor
1. Ben pegawai kecipratan...
2. Ben tengkulak untung gede
3. Ben rakyat nelarat iso kerja paksa tanpa gaji
4. Ben sawah e di jual ke broken.
5. Ben ganti pribumi ne.
Ini jawab an boleh juga.